merdrkr.com |
Berpuluh tahun lalu ketika aku masih disebut anak-anak, Ayah dan Ibu selalu menyuruhku mengaji di rumah Ustad Rah
man. Bahkan sering Ayah mengantarku ketika aku sedang malas mengaji. Baginya, tidak ada alasan untuk tidak pergi mencari ilmu.
Ustad Rahman tergolong orang yang sangat pintar dalam soal agama. Ia satu-satunya lulusan pesantren di kampungku, bahkan satu-satunya orang yang bergelar sarjana. Maka, tak heran banyak orangtua yang menitipkan anaknya untuk belajar ilmu agama kepadanya.
Suatu hari kami ditanya Ustad Rahman, "Siapa di sini yang sudah punya cita-cita?" katanya dengan senyum yang mengembang, namun hanya diam balasan dari ketulusanya. Ustad Rahman lanjut bertanya, "Siapa yang nanti pengen jadi Pilot?" Balasan diam untuk kedua kali, bahkan beberapa anak hanya garuk-garuk kepala.
Satu hal yang nantinya aku tahu bahwa anak kecil tidak mengerti akan cita-cita. Yang mereka tahu hanya angan-angan.
Semenjak pertanyaan dari Ustad Rahman itu, entah kenapa aku menjadi berpikir apa itu cita-cita dan seperti apa itu cita-cita. Aku berpikir, menjadi Ayah bagi anak-anakku bukankah itu cita-cita? Atau, masuk surga bukankah itu juga cita-cita?
Tak harus berupa profesi yang seperti Ustad Rahman sebutkan. Karena bagiku, cita-cita itu keinginan dari dalam hati. Buat apa itu cita-cita kalau itu tak sesuai kata hati.
Menginjak usia 12 tahun saat aku lulus SD, entah kenapa kalau dihitung bapak ibu guru selalu menanyakan apa cita-cita kami para muridnya sebanyak seratus kali tiap kami ada di kelas selama Sekolah Dasar. Aku yakin menjadi guru pun pasti bukan cita-cita kalian melainkan cara kalian mendapatkan pekerjaan.
Ketika Aku lulus SMP, pertanyaan basi itu selalu ditanyakan. Kali ini aku benar-benar merasa tidak ingin hidup di dunia yang penuh pertanyaan retorika macam itu. Meskipun selama aku berada di SMA, kejadian itu terulang kembali dan ah, malas sekali aku menceritakanya.
Setelah menjadi sarjana, aku benar-benar hidup seperti selayaknya orang-orang normal lainya: bekerja, mendapat gaji banyak, bisa beli mobil, beli rumah dan menikah. Ah, betapa monotonnya hidup ini.
Setelah menikah, aku punya anak: satu laki-laki dan adiknya perempuan. Lagi-lagi hidupku benar-benar seperti harapan orang lain, ataukah hidupku merupakan cita-cita dari orang lain?
Hingga paruh usiaku aku melihat gambaran kehidupanku dalam anak-anakku. Dari kecil mengaji, sekolah sampai menjadi sarjana, menikah dan bekerja. Kemudian aku punya cucu-cucu yang lucu. Bahkan aku masih diberi kesempatan untuk melihat cucu-cucu lucuku, hal yang selalu menjadi harapan kebanyakan orang.
Namun aku belum juga menemukan cita-citaku. Mungkin Tuhan memberiku umur panjang agar aku bisa menemukan apa cita-citaku.
Suatu senja, istriku meninggal. Orang yang telah menemaniku selama hampir separuh hidupku, pergi membawa senyum di raut mukanya yang teduh. Inilah saat di mana aku meneteskan air mata, ketika aku harus menyaksikannya dipendam dalam tumpukan tanah. Mungkin Tuhan juga berkehendak aku menyaksikannya.
Aku mulai bosan dengan kehidupan tuaku: bangun, sarapan, istirahat, membaca buku, tidur, makan dan itu selalu berulang setiap hari. Hingga aku berdoa di suatu malam, "Cabutlah nyawaku besok pagi."
Dan Tuhan bermurah hati mencabut nyawaku. Ketika malaikat pencabut nyawa datang padaku, tiba-tiba aku tersadar, "Ya Tuhan, aku punya cita-cita. Ya, aku punya cita-cita. Aku ingin hidup lagi dan membuat hidupku bermakna."
pernah dimuat di Qureta.com
0 Komentar