Saya punya ingatan yang begitu membekas tentang sebuah meja. Sewaktu SD saya mendapatkan meja dengan penuh coretan. Coretan itu ada yang membekas karena dibuat dengan menggunakan "pames"(pisau dengan ukuran kecil), ada yang menggunakan bolpoin, pensil, dan juga tipex. Coretan itu sebenarnya banyak sekali ada yang menulis nama, atau siapa cinta siapa, juga kata-kata yang sebenernya jauh dari sesuatu yang quoteable.
Dan meja penuh coretan itu adalah mejaku, meja tempat pertama kali saya sekolah sebagai murid di sekolah dasar. Sebelumnya di bangku taman kanak-kanak meja yang saya punya bersih dan rapi, juga warna-warni, namun meja di sekolah dasar ini begitu semrawut dan juga jauh dari kesan indah, namun entah kenapa saya menyukainya.
Meja dengan penuh coretan itu bagi saya sangat berkesan karena ada anggapan dari diri saya sendiri bahwa inilah meja anak SD, meja yang menunjukkan bahwa saya sudah bukan kanak-kanak lagi. Seolah dengan beradanya saya di meja ini menunjukkan saya sudah berada di tingkat atas, lebih daripada mereka yang hanya menyanyi, menaru, dan menggambar di dalam kelas.
Hal serupa juga saya lakukan setelah saya benar-benar resmi menjadi murid sekolah dasar. Dalam arti corat coret meja. Dalam pikiran saya dengan saya mencorat-coret meja yang saya gunakan itu mengingatkan kepada seisi kelas bahwa itu adalah teritori saya. Dan siapapun tidak berhak menggunakan tempat saya. Bukan hanya saya yang melakukan hal tersebut, hampir semua teman-teman saya dikelas juga melakukan hal serupa.
Hingga ketika kenaikan kelas saya akan mendapatkan meja baru yang tentu saja dengan corat coret pemilik sebelumnya. Entah itu namanya, rumus-rumus matematika, juga kalimat bahasa Inggris ala kadarnya. Dan tentu saja meja saya yang dulu juga akan memiliki pemilik baru dengan bekas coretan saya. Kalau ingin tau apa coretan yang saya buat, akan saya katakan. Dari pertama memiliki meja di sekolah saya selalu menuliskan dua kalimat yang sama di setiap meja yang saya tempati. "Ora et Labora" dan "Devide et Impera", artinya cari sendiri. Dua kata itu dimasa dulu sangat keren menurut saya, kata asing yang tidak semua bisa tahu, dan saya bisa membanggakan kepada teman-teman yang lain berulang kali.
Di bangku SMP hal serupa juga saya temui, tak jauh beda ternyata hampir semua meja selalu ada coretan. Namun yang lebih membedakan adalah coretanya lebih berisi. Dari kata-kata mutiara, sampai quote tokoh-tokoh penting, dan juga rumus fisika dan matematika, sebagai bukti yang punya kawasan pernah melakukan perbuatan keji sebagai siswa, mencontek. Bahkan dimeja Aliyah saya juga menemukan hal yang sama, bahwasanya tradisi coret-coret meja ternyata sudah membudaya dikalangan pelajar. Entah sekarang masih ada apa tidak saya tidak tahu, dan apakah tradisi semacam itu hanya ada disini atau didaerah lainnya saya juga tidak tahu
Yang jelas hal-hal kecil seperti itu menjadi kenangan tersendiri bagi saya, entah itu hal yang saya sendiri merasa itu tindakan yang tidak baik. Hampir semua kenangan yang banyak saya ingat dimasa sekolah adalah kenangan yang bisa dikatakan jauh dari kesan baik, mulai dari mencontek, berkelahi, menjahili teman, hingga corat-coret meja tadi. Kenangan baik seperti saya pernah mendapat nilai 100, mendapatkan rangking dua berturut-turut tanpa pernah mendapatkan rangking satu sama sekali, membantu teman mengerjakan PR, dan hal lainnya justru tidak begitu membekas dalam ingatan saya.
Sama seperti halnya meja yang penuh coretan dan mengingatkan saya akan masa sekolah saya. Hal kecil yang selalu saya renungkan hingga kini adalah ketika saya tidak bisa belajar dengan sungguh-sungguh ketika dulu menjadi seorang siswa. Dan benar seperti yang selalu dikatakan guru-guru saya dulu, bahwasanya ketika kita tidak bersungguh-sungguh belajar kita akan menyesal, dan kini saya benar-benar menyesal.
Wonosobo, 25 Januari 2019
0 Komentar