Pasca tumbangnya Presiden Soeharto yang menunjukan hancurnya kekuasaan Orde Baru bisa dikatakan membawa perkembangan pesat pada proses kreatifitas dalam jagat kepenulisan di Indonesia, tak terkecuali juga banyaknya karya sastra yang lahir karena kebebasan berekspresi yang selama ini dilarang menjadi angin baru bagi para sastrawan kala itu. Media yang sempat dibredel kembali bisa beroperasi, kebebeasn pers yang selama ini deikekang muncul kembali dengan nuansa baru.
Tak terkecuali para penulis yang juga mulai menggerakan penanay baik itu menulis sejarah secara langsung maupun mengabadikanya dalam bentuk Fiksi, beberapa diantaranya memilih jalan kedua untuk mempermudan pemahaman para pembaca. Ahmad Tohari dalam Novelnya Ronggeng Dukuh Paruk juga menyinggung beberpa adegan terkait peristiw 65, Y.B Mangunwijaya dalam cerpenya yang berjudul Kapten Tahir 1975 yang juga menjadi awal sastra yang menceritakan peristiwa yang tak akan terlupakan oleh negeri ini dan juga Dunia Internasional.
Kebebasan berekspresi dan juga berpendapan bisa dibilang sudah sangat baik di negeri ini, meskipun kadang pada prakteknya ada saja sesuatu yang merenggut kebebasan itu, namun bagi para penulis di negeri ini tak ada matinya selama pena masih ada dan juga kertas masih ada semua menjadi bahan yang layak untuk diabadikan, bahkan Seno Gumira Ajidarma dalam tulisanya mengatakan “Kalau Jurnalis Dibungkan Sastra Harus Bicara”. Sastra merupakan sesuatu yang lahir dari penciptany dengan buah dan pikiran yang panjang dan melalui banyak proses yang berliku.
Beberapa penulis mulai menuangkan ide gagasan dalan bentuk Fiksi maupun Non Fiksi seiring dengan jaminan kebebasan berkarya di negeri ini, bahkan diantaranya muncul beberapa nama Penulis Perempuan yang menyuarakan kegelisahan mereka dalam bentuk Fiksi sesuai dengan konsen mereka masing-masing. Diantaranya N.H Dini, Jenar Maesa Ayu, Abidah El-Khalieqy, Ayu Utami, Linda Christanty, Okky Madasari, Dewi Lestari, Oka Rusmini, Leila S. Chudori, Asma Nadia, Pipiet Senja, Helva Tiana Rossa dan nama lainya yang muncul dengan beragam karya dan ciri khasnya masing-masing.
Beberapa karya menunjukan karakter penulis dan juga merupakan ciri dari penulis itu sendiri, dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Abidah El-Khalieqy menujukan betapa Perempuan masih dianggap remeh bahkan tak ada artinya dibanding laki-laki, terlebih latar dalam Novel ini adalah pesantren sesuatu yang kadang dianggap membatasi gerakan kaum perempuan dengan dogma-dogma agama. Namun pada kenyataanya Penulis justru ingin mengungkapkan sesuatu dimana seharusnya Perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, namun publik terlanjur mengecam Novel yang juga pernah difilmkan dengan judul yang sama, hingga penulis berusaha mengklarifikasinya dengan menerbitkan Novel dengan Judul MATARAISA yang menjelaskan dibalik Novel Perempuan Berkalung Sorban, bermula dari kegelisahan muncul sebuah karya Fenomenal Perempuan Berkalung Sorban yang menggambarkan keinginan Perempuan mempunyai dan mendpatkan hak yang sama.
Okky Madasari tampil memukau lewat novel Maryam yang diganjar sebagai Prosa Terbaik dalam Khatulistiwa Literary Award, Maryam sebuah Novel yang menjelaskan diskriminasi kaum Ahmadiyah yang dianggap sesat di negeri ini, lewat Fikisi ini Okky berusaha menjelaskan betapa tersiksanya seorang yang mendapat stigma jelaek dimata masyarakat, dan juga tentang arti perjuangan dan juga kesabaran, hampir mirip dengan Novel karya Abidah yang berjudul Akulah Istri Teroris yang juga menggambarkan diskriminasi perempuan bercadar yang masih dianggap aneh dikalangan masyarakat di Indonesia.
Ayu Utami lewt Novel Bilangan Fu menggambarkan Budaya dan Tradisi Jawa yang kian luntur karena arus globalisasi, tetapi juga dalam Novel ini bahasa vulgar ditunjukan dengan menggunakan Istilah Masturbasi, Vagina, Penis yang sangat berani dilakukan oleh seorang perempuan, bahkan dalam karyanay SAMAN juga adegan sensualitas juga ditampilkan secara blak-blakan, tak ada bedanya dengan Leila S. Chudori dalam Novel Pulang. Beberapa karya dalam Novel yang ditulis sastrawan Perempuan ini memang menonjolkan adegan intim dan juga bagian-bagian intim dalam manusia, ya sekali lagi mungkin ini wujud dari kebebasan berkarya dan kebebasan merangkai kalimat.
Dewi Lestari atau “Dee” mencoba alur baru dimana kary
anya mengutamakan kebebasan berkarya dan meninggalkan sesuatu bernama pesan Moral dalam karyanya, ia lebih mengutamakan seorang yang membaca novelnya bertanya-tanya tentang realitas yang ada dalam Novelnya.
Beberapa karya dan penulisnya akan saya bahas dalam lain kesempatan, tidak ada karya yang lahir tanpa proses panjang, dan cintailah sastra agar anakmu yang pengecut menjadi jujur dan pemberani
0 Komentar