Aku dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sangat sederhana, Bapak Ibuku seorang tani yang tinggal di Desa di Lereng Dieng tepatnya di Desa Tieng, Kejajar, Wonosobo. Dalam keseharian kami hidup apa adanya makan tidak mewah namun itu cukup memenuhi perut yang lapar, rumah juga cukup untuk bertrduh dari hujan dan sengatan matahari, dan Aku hidup dalam benyak tradisi keagamaan yang ku tau nantinya itulah tradisi orang-orang NU (Nahdlatul Ulama) ya... karena aku terlahir dari keluarga NU dan besar dalam lingkungan NU.
Aku mengenal NU pertama kali adalah dari sebuah gambar yang menempel di dinding rumahku, gambar berukuran 30x25 cm itu adalah sebuah gambar yang nantinya ku tau itulah yang namanya Lambang NU Karya KH. Ridwan Abdullah, gambar itu diam namun seolah mempengaruhiku suatu saat nanti, aku tau keluargaku U karena bapak dan ibu sering menyebut-nyebut kata itu namun dulu cara penyebutanya adalah menggunakan ejaan lama yaitu NO (Nahdlatul Oelama) dan sampai sekarang bapak ibu masih menggunakan ejaan itu NO bukan NU.
Semasa kecil bapak ibu secara tidak langsung telah mengenalkanku akan NU entah itu dari tindakan mereka dan dari tradisi NU itu sendiri, dari tingkah lakunya Bapak setau saya sejak saya kecil sampai sekarang adalah seorang BANSER dan Ibu sering mengajak saya setiap hari minggu Pon (dalam hitungan pasaran jawa ) pergi ke acara selapanan FATAYAT NU dengan pakaian berwarna hijau daun pisang. Bapak Ibu sangat bangga dengan aktifitas mereka sebagai anggota BANSER dan FATAYAT NU kala itu. Tidak ada hari tanpa membahas NU dalam keluarga kami.
Bapak merupakan sosok yang tangguh menurutku, meskipun kami hidup dalam keadaan yang sangat sederhana namun dedikasi bapak untuk NU (BANSER) amatlah tinggi bahkan sewaktu-waktu ada panggilan yang mengharuskan bapak pergi entah itu meninggalkan pekerjaanya sebagi tani ataup[un pergi beberapa hari dari rumah bapak dengan ikhlas meninggalkannya demi NU (BANSER), bahkan pernah ketika terjadi gejolak kasus Bulog yang menyebabkan Gus Dur akan dilengserkan sebagai Presiden RI bapak dengan sigap berangkat ke Jakarta untuk menjadi pasukan pembela Gus Dur meskipun akhirnya Gus Dur lengser juga sebagai presiden, bapak juga sangat senang sekali menceritakan pengalaman-pengalamnaya memakai seragam BANSER yang kala itu banyak mengawal Kiai-kiai terkenal dan juga Orang-orang terkenal, bapak sangat bangga sekali ketika bercerita bahwa disuatu kesempatan bapak memakaikan Sepatu Gus Dur, juga ketika Sang Raja Dangdut Rhoma Irama berkunjung ke Wonosbob bapak menjadi pengawal Tokoh Idolanya itu bapak akan menceritakan itu dari saudara ke saudara berminggu-minggu lamanya, ya itulah bapaku BANSER yang enggan menjadi Pengurus NU sebelum BANSER benar-benar maju, hingga kini yang usianya semakin renta bapak tetap setia sebagai anggota BANSER maskipun sekarang menjadi BANSER yang dituakan di Wonosobo, Bapak tidak pernah mengeluh ketika berjuang di BANSER bapak tidak pernah mengharapkan jabatan apapun di struktural BANSER dan NU namun cita-citanya melebihi siapapun dalam NU cita-cita yang sangat sederhana bagi kebanyakan orang namun sangat mengena dalam diriku “Ketika Orang sudah bosan mengurus BANSER maka saya orang pertama yang akan terus mamperjuangkan BANSER hingga Nyawa ini lepas dari Jasadku” Bapak selalu berkata seperti itu ketika ditanya siapapun “Mau sampai kapan Pak Karim di BANSER?” itu jawaban yang selalu bapak katakan ketika banyak orang bertanya Muhammad Abdul Karim orang dengan semangatnya yang luar biasa yang selalu mempedulikan NU dimanapun kapanpun, semangatnya merasuk dalam tubuhku meskipun aku sadar apa yanng aku lakukan tak sebanding dengan apa yang sudah Bapak lakukan selama ini.
Berbeda dengan Bapaku, Ibu punya cerita tersendiri dengan NU Ibu yang dari kecil sudah ku kenal lewat FATAYAT NU adalah sosok yang sangat tangguh pejuang perempuan yang hanya mampu berjuang menyumbangkan tenaganya perempuan yang sangat mencintai NU bahkan sering menangis ketika tidak bisa menyumbangkan sesuatu untuk NU. Ibu selalu hdir dalam setiap pengajian NU dari ketika dulu masih menjadi anggota FATAYAT NU hingga kini ketika sudah purna dan menjadi anggota MUSLIMAT NU. Ibu dan NU dua ruh penyemangat yang tak lelah memberi semangat bagiku dalam berkiprah di IPNU, ketika ada seseorang yang datang ke rumah dengan maksud meminta sumbangan pembangunan Gedung NU, sekolah NU, atau sesuatu yang berhubungan dengan NU Ibu selalu samangat memberikan sebagian rejekinya untuk hal itu karena baginya hanya dengan hal itulah Ibu berguna untuk kemaslahatan NU, karena katanya untuk berbagi pemikiran Ibu kurang mampu ya Bapak Ibu hanyalah seorang desa dengan riwayat pendidikan hanya sampai lulus SD, Ibu selalu berkata padaku “Di NU kalau kita tidak bisa menyumbangkan Uang maka sumbangkanlah Pikiran dan ketika kita tidak bisa menyumbangkan Pikiran maka sumbangkanlah tenaga dan kalau kita tidak juga bisa menyumbangkan Semuanya maka sumbangkanlah Doa” Ibu bagiku adalah penyemangat untukku ketika aku sedang merasa malas atau bosan berkiprah di IPNU.
Lewat keluarga sederhana inilah aku mengenal NU dan tradisi-tradisinya, Bapak Ibu tidak pernah menginginkan sesuatu dari NU yang terpenting bagi mereka adalah NU terus ada dan tetap jaya, ketika dalam perjalananku di IPNU Bapak Ibu sangat bangga ketika aku menjadi pengurus Cabang IPNU Wonosobo, tapi kebanggan itu juga pernah tercoreng ketika dalam Momen KONFERCAB IPNU Ke XIV saya “GAGAL” menjadi Ketua PC IPNU Wonosobo karena proses Politis yang tidak sehat yang mana Temanku sendiri yang dulu memberi semangat ternyata tega menjatuhkanku, dan ketika Bapak Ibu tau itu mereka sedih dan kecewa dan itulah Tangis pertama dari kedua orang tuaku dalam hidupku yang ditujukan untukku, aku memahami kekecewaan mereka namun lagi-lagi Orang tuaku brnar-benar luar biasa disaat seperti itu kata-kata bapak dan ibu bukan umpatan atau dan yang lain sebagainya namun justru kata-kata penyemangan bagiku dengan linangan air mata dan kata-kata yang terbata-bata bapak berkata “IPNU mungkin tidak membutuhkan kamu sebagai ketua namun IPNU membutuhkan perjuanganmu” sambil menangis menahan kecewa saya mendengarkan nasehat bapaku dan yang lebih membuatku sedih adalah kata-kata dari Ibuku “Meskipun kamu tidak menjadi Ketua IPNU Demi Allah saya tidak Rela Dunia Akherat seandainya kamu berhenti berjuang di IPNU/NU”. Bapak Ibu tetap memberi semangat untukku meski ku tau mereka merasa kecewa anknya diperlakukan tidak adil oleh teman sendiri.
Nahdlatul Ulama, organisasi terbesar di Negeri ini bahkan di dunia telah memberi cerita tersendiri entah itu untuk Bapak, Ibu, dan Juga Aku cerita suka duka ku himpun dalam hati dan kelak akan menjadi sejarahku dan akan ku ceritakan kepada anak cucuku, aku berharap semangat Bapak Ibu dalam mengabdikan untuk NU yang kini bersemayam dalam diriku akan menurun hingga anak cucu nanti.
Banyak kisah yang aku alami sejak perkenalanku dengan NU hingga kini aku berkiprah di IPNU namun bebrapa coretan diatas mungkin hanya sedikit atau secuil dari Kisakhu, Keluargaku dan NU.
“JANGAN PERNAH BERPIKIR APA YANG KITA DAPAT DARI NU, TAPI BERPIKIRLAH APA YANG BISA KITA BERIKAN UNTUK NU”
SELAMAT HARLAH NU KE 90 JAYALAH NAHDLATUL ULAMA UNTUK NEGERIKU
0 Komentar