Salah satu anugrah yang diberikan Allah pada saya adalah gemar membaca. Tidak semua orang bisa mendapat anugrah ini. Bahkan, kutu buku bisa dikategorikan sebagai makhluk langka.
Lewat membaca saya mampu membayangkan betapa peperangan mampu menghancurkan sebuah peradaban besar. Misalnya Perang Paregreg (Majapahit) yang mengawali kehancuran imperium besar ini.
Lewat membaca, saya juga bisa membayangkan seorang Leonardo Da Vinci, yang mempunyai penyakit dislexia tapi mampu membuat sketsa pesawat terbang. Padahal saat itu bisa dibilang belum modern hingga beberapa abad kemudian pesawat terbang baru bisa diciptakan.
Lewat membaca saya membayangkan kokohnya benteng Khaibar yang bisa ditaklukan oleh pasukan muslim. Saya juga bisa membayangkan bagaimana karya besar seperti Ihya Ulumuddin, Al Hikam, Ta’lim Muta’alim ditulis oleh ulama-ulama besar.
Saya seakan ikut merasakan betapa cerdasnya Sultan Muhammad Fatih memimpin perang selama 53 hari hingga mampu menembus benteng Konstantinopel. Hati ini menangis membayangkan pembantaian Imam Husein cucu Baginda Nabi Muhammad SAW yang dibantai di padang Karbala sambil memegang putra kesayanganya.
Juga, saya bisa merasakan semangat menjalar ke seluruh tubuh manakala membaca pidato Bung Tomo atas suruhan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.
Saya masih ingat, awal mula suka membaca buku adalah saat saya memasuki kelas empat SD. Buku yang merangsang gairah membaca saya saat itu, hingga berkai-kali saya pinjam dari perpustakaan sekolah, adalah Naik Haji Bersama Ayah Ibu.
Buku ini berkisah tentang keluarga yang begitu ingin menjalankan ibadah haji hingga rela menjual tanah warisan. Akhirnya keluarga tersebut bisa berangkat ke tanah suci, termasuk bocah laki-laki yang menjadi karakter utama dalam buku ini.
Entah kenapa saya begitu iri akan tokoh anak kecil tersebut. Di usianya yang masih kanak-kanak, ia sudah bisa menjejakkan kaki di tanah suci. Sedangkan saya, sampai saat ini masih menunggu panggilan dari Allah.
Kegemaran saya membaca menjadi barang langka di antara teman-teman saya yang lebih memilih hobi sepak bola, bulu tangkis, boneka dan lain-lain. Hobi yang wajar bagi anak jaman 90an waktu itu.
Itu pula yang terkadang membuat saya minder. Karena, rupanya kegemaran membaca membuat saya seolah lain dari yang lain, atau bisa dibilang “aneh”. Hingga akhirnya, kebiasaan berkunjung ke perpustakaan mulai saya tinggalkan demi menghindari sebutan anak aneh.
Sewaktu masuk SMP, hasrat itu mulai tumbuh kembali. Saya menjumpai beberapa teman sekelas yang juga suka membawa buku ke sekolah. Hal itu lantas menumbuhkan minat baca saya yang sempat terpendam. Mulai saat itulah kebiasaan membaca membawa saya pada julukan anak yang “unik”, evolusi dari kata “aneh”.
Kebiasaan berkunjung ke perpustakaan sekolah mulai saya lakukan kembali. Saya mulai akrab dan bersahabat lagi dengan buku-buku. Ada kerinduan mendalam antara saya dan mereka. Saya mulai menikmati keunikan tersebut.
Saat SMP, ada satu buku yang saya suka, yaitu tentang biografi Soeharto. Saya masih ingat, banyak istilah yang belum saya pahami muncul dalam buku tersebut, seperti Krismon (Krisis Moneter), Reformasi, dan Gerakan Cinta Rupiah. Kelak, saya juga akhirnya tahu bahwa pada masa Suharto, buku-buku Pramoedya Ananta Toer dilarang beredar.
Beranjak Aliyah (setara SMA) saya mulai dituntut untuk tahu banyak, karena saya bersekolah di tempat yang agak dekat dengan kota. Pada masa Aliyah itulah saya mengenal surga buku-buku dari Perpustakaan Umum Daerah Wonosobo.
Di perpustakaan tersebut banyak sekali buku yang bisa dipinjam oleh para anggota. Semenjak itulah, setiap hari Sabtu, saya rutin mengunjungi perpustakaan tersebut.
Saat sekolah, saya selalu antusias dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Sebab, guru-gurunya akan membahas karya sastra. Selain itu, banyak tugas yang menyenangkan, misalnya membuat cerpen. Saya selalu mendapat nilai bagus untuk tugas-tugas mata pelajaran ini.
Saya masih ingat, suatu waktu guru menugaskan para siswa untuk meresensi novel Ayat- Ayat Cinta. Ini judul buku yang sudah saya kenal sejak SMP namun baru sempat saya baca saat Aliyah. Itulah awal cerita bagaimana saya menggemari karya Habiburrahman El-Shirazy.
Kegemaran membaca tetap berlanjut hingga saya lulus Aliyah. Bahkan hingga kini, jujur saya menikmati diri saya sebagai seorang kutu buku.
Banyak hal menarik yang bisa saya dapatkan dari lembaran buku. Buku yang saya sukai adalah seputar sastra, sejarah, dan filsafat. Buku-buku tersebut menjadi teman setia saya setiap ada waktu.
Saya tahu, minat baca di negeri ini sangat minim, paling rendah di Asia Tenggara bahkan di Asia. Soal sastra saja, anak negeri ini kalah dengan anak kelas 4 SD di Jepang dan Singapura.
Anak-anak di negara seperti Filipina, Brunei, Malaysia, Singapura lebih akrab dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang namanya beberapa kali masuk nominasi Nobel Sastra, dibanding dengan anak-anak di negara asalanya Pram sendiri, Indonesia.
Saya sendiri baru mengenal sosok Pram di tahun 2013, lewat cerita seorang teman penggemar buku. Saya begitu tertarik dengan Bumi Manusia yang menceritakan seorang Perempuan tangguh bernama Nyai Ontosoroh, seorang didikan Belanda yang sangat kritis.
Juga Minke, pribumi yang sangat gemar menulis. Bumi Manusia sampai saat ini masih melekat dalam ingatan saya sebagai karya sastra yang harus dibaca generasi muda.
Sebenarnya, banyak sekali manfaat yang saya dapatkan dari membaca, selain mengamalkan perintah Quran (ayat pertamanya dimulai dengan perintah Iqra’: Bacalah). Saya juga mendapat ilmu yang banyak dari kegiatan ini. Saya selalu berharap apa yang saya lakukan bermanfaat untuk saya dan orang di sekitar saya.
pernah dimuat di Qureta.com
0 Komentar