Saya pertama kali belajar mengaji dengan ibu saya. Ibu adalah orang yang pertama kali mengajarkan saya nama-nama huruf Hijaiyah. Dan berkat ibu pula saya bisa tahu deretan huruf dari alif sampai ya'. Namun saya hanya tahu sebatas huruf-huruf itu, untuk membaca secara bersambung saya belum bisa.
Dimasa kecil banyak anak-anak yang baru bisa membaca Qur'an saat mereka kelas dua SD, saya bahkan bisa membaca Qur'an dari kelas empat SD. Pertama kali belajar membaca Qur'an masih mengeja. Waktu itu belum ada metode belajar membaca seperti qiraati, yanbua. Saya tidak tahu apakah ini metode apa bukan yang jelas kami menyebutnya iqra', dengan gambar sampul seorang bapak berpeci hitam. Dan setelah itu kami mengaji buku dengan sampul pink yang kami sebut ngaji turutan(urutan surat juz 30), namun ada juga yang menyebutnya juz ama.
Ketika mengaji turutan saya diajar oleh Mbah Nasir (beliau menjadi Rois Syuriah PCNU Kabupaten Wonosobo 1991). Mbah Nasir sangat keras dalam mengajar, bahkan tidak segan untuk membentak kalau yang diajarkan tidak bisa, beberapa kali saya menangis kala mengaji bersama beliau karena saya tidak bisa membaca apa yang disuruh dibaca. Namun saya belajar satu hal, bahwa dalam mengaji tak boleh putus asa karena gurupun menjadi ujian bagi kita apakah kita bisa menerima apa tidak.
Hari-hari berlalu dan saya masih tak kunjung bisa membaca Qur'an. Pelajaran saya masih sama dari surat ini ke surat itu dan diulang terus menerus. Saya bukanya bisa membaca tapi malah saya hafal surat tersebut, hingga ketika saya diminta membaca saya tidak membaca karena sudah menghafal. Alhasil saat tuding ( tongkat kecil untuk menunjuk huruf dan harakat dalam belajar membaca Qur'an) diarahkan kepada huruf-huruf dan harakat saya malah jadi tidak sesuai apa yang saya lafalkan dengan apa yang ditunjuk oleh Mbah Nasir. Dan lagi-lagi saya kena marah.
Setelah bisa membaca Qur'an dengan waktu yang terbilang lama akhirnya saya sudah bisa mendapatkan Qur'an sendiri. Saya senang sekali akhirnya punya Qur'an sendiri, Qur'an yang dibeli saat mengunjungi kakak saya yang mondok di Tegalrejo. Itulah Qur'an pertama yang saya miliki dan sampai sekarang masih ada.
Di desa saya terdapat pondok pesantren. Pondok itu letaknya berada persis di samping masjid. Dan yang mondok disitu adalah anak-anak dari desa sekitarnya. Kini hanya diisi oleh santri dari desa saya. Disitulah saya juga belajar ilmu Nahwu Sharaf, meskipun sampai sekarang belum bisa membaca kitab kuning. Banyak kitab yang saya pelajari, meskipun banyak lupanya. Entah kenapa, atau mungkin karena kesibukan atau saya yang sekarang sudah jarang mengaji.
Dimasa sekarang saya sudah jarang sekali mengaji, selain karena disibukkan dengan banyaknya hal, juga karena sudah jarang anak-anak seusia saya atau seangkatan dengan saya yang mengaji. Padahal ilmu itu tidak melihat hal seperti itu. Kadang saat melihat para santri berangkat dan pulang mengaji hati ini merasa iri, dan terbesit dalam pikiran saya. Tidak malukah saya yang hanya karena rasa malu lantas meninggalkan kewajiban mencari ilmu.
Wonosobo, 23 Januari 2019
0 Komentar