“If you want to be a writer you must do two things above all others : read a lot and write a lot”. Stephen King. Beberapa kata-kata motivasi dalam membaca maupun menulis sering ku jumpai manakala saya berbincang-bincang dengan buku.
Ketika saya mulai suka membaca entah kenapa Genre Novel menjadi salah satu buku yang saya minati ,dan tentu Novel disini bukan sekedar Novel biasa dalam arti Novel Madzhab Alay meskipin beberapa teman berangga[an bahwa Novel yang saya baca adalah Novel yang tidak ada artinya bahkan beberapa beranggapan membaca Novel adalah suatu tindakan paling “sia-sia” dalam membaca buku, namun saya beranggapan lain bahwa dalam setiap Buku entah itu apapnu pasti menyimpan ilmu, dan ingat “kamu adalam apa yang kamu baca” jadi membaca tidak perlu mengikuti kegemaran orang lain, jadilah diri sendiri.
Bagiku membaca Novel merupakan suatu keasyikan tersendiri dan tentu orang yang tidak suka membaca tidak bisa merasakan keasyikan ini, beberapa karya membuat saya berdecak kagum dan mulai mengenal beberapa penulis dalam jagat sastra di dunia.
Pramoedya Ananta Toer, satu-satunya sastrawan yang pernah dimiliki Negeri ini yang namanya beberapa kali masuk Nominasi Nobel Sastra namun belum berhasil juga meraih penghargaan bergengsi ini, namun ia pernah mendapatkan Penghargaan dari Ramon Magsasysay Award selain ada nama Mochtar Lubis yang juga pernah mendapat penghargaan serupa. Hidup pada masa Orde Baru yang penuh kekangan dalam sejarah Negeri ini membuat nama sastrawan ini tidak boleh dilipakan, beberapa karyanya sangat bertentangan dengan kemauan pemerintah saat itu, hingga pada masa orde baru karya-karyanya dilarang beredar, Roman Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) merupakan karya sang maestro yang mungkin menjadi karya yang diburu para penggemar, bahkan karya ini sudah diterbitkan kedalam beberapa bahasa, Namun lewat karya inilah Pramoedya membuat kekuasaan Orde Baru merasa terancam karena dalam karya ini Pram menunjukan betapa benih-benih Kolonialisme masih mengakar dalam kehidupan kita, bahkan dalam beberapa adegan juga mengambarkan budaya Jawa yang dianggap terlalu merendahkan martabat manusia. Tetralogi Pulau Buru menggambarkan keadaan Bangsa ini mulai dari ketika Kekuasaan Kolonial masih berkuasa hingga menjelang Revolusi. Awal mula lahirnya karya ini berawal dari sosok Phlawan Nasional yang namnya jarang diketahui khalayak luas ialah R.M. Tirto Adhi Soerjo yang merupakan Indlander pertama yang menggerakan Jurnalistik di Indonesia lewat Medan Prijaji (Baca Sang Pemula) . Karya yang tak kalah fenomenal adalah Gadis Pantai, berbeda dengan Tetalogi Pulau Buru yang lebih banyak berkisah tentang kekejaman Kolonialisme dalam Gadis Pantai Pram justru menggambarkan kesewenangan Golongan Priyayi dalam bertindak, budaya “seenaknya” seolah menjadi hal yang ditonjolkan Pram dalam Karya ini, hal unik dalam Roman Gadis Pantai adalah karya ini pernah dibakar Rezim Orba hingga kehilangan jejak dokumentasi hingga Roman yang semula akan terbit Trilogi harus menelan pahit dan hanya terbit satu buku, yang lebih miris lagi adalah yang menyelamatkan karya ini adalah dari Negeri tetangga (Australia) hal ini menunjukan betapa bangsa lain lebih menghargai karya kita ketimbang bangsa sendiri.
Pramoedya Ananta Toer dan Rezim Orba merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, Pram dikenal dengan Karyanya sedangkan Soeharto dikenal dengan Kekejaman kekuasaanya, ah....mungkin mereka sekarang sedang tertawa di alam sana.
Ahmad Tohari, sastrawan Banyumas yang melejit lewat karyanya yang berjudul Kubah dikenal sebagai seorang yang sederhana, ia lebih memilih tinggal di Desa ketimbang di Kota Besar. Beberapa karyanya dengan apik menggambarkan kehidupan desa sebut saja Ronggeng Dukuh Paruk tanpa karya ini mungkin namanya tidak akan dilenal sampai begitu populer, Novel ini sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa bahkan menjadi bacaan wajib dalam mata kuliah sastra timur di beberapa Universitas ternama. Dalam beberapa karyanya Ahmad Tohari menggambarkan kehidupan Desa lengkap dengan segala aspek yang ada, Budaya, Agama, Moralitas, hingga Politik. Ronggeng Dukuh Paruk yang sudah difilmkan dengan judul Sang Penari merupakan penggambaran Budaya Masyarakat yang masih sangat kuat menjalankan ajaran leluhur, bahkan bisa dikatakan Budaya mengalahkna Agama dalam penggambaran Karya ini, dalam Novel Bekisar Merah Ahmad Tohari lebih menyoroti betapa kemajuan menjadi pemicu kerusakan moral orang-orang di negeri ini, dimana kekuasaan yang dipimpin oleh orang-0rang yang serakah hanya akan menjadikan negeri ini sapi perahan bangsa lain hingga tak heran banyak istilah yang menyebutkan “Kita Bngsa Besar tapi Tak Bermental”. Karya-karya lain yang menggambarkan keadaan negri ini juga tertuang dalam Orang Orang Proyek, Di Kaki Bukit Cibalak, Ahmad Tohari dan Desa mungkin memiliki kisah tersendiri hingga keduanya tidak bisa dipisahkan.
Pramoedya Ananta Toer dan Ahmad Tohari merupakan dua sosok yang saya kagumi entah kenapa bagiku dalam setiap karya mereka mempunyai ruh tersendiri yang mana saya yakin setiap penikmat karya mereka bisa merasakan. Andai Pramoedya masih hidup mungkin ia akan masih terus berkarya seperti yang selalu ia dengungkan dalam setiap karyanya dimana “Menulis merupakan suatu cara menuju Keabadian”. Semoga apa yang dikatakan Stephen King diatas bisa ku lakukan dimana Bnyak Membaca dan Banyak Menulis menjadi jalan agara saya suatu saat nanti bisa mengikuti jejak mereka berdua
“Orang oleh pandai setinggi langit, namun selama ia tidak menulis maka ia akan hilanga ditelan waktu dan lenyap dari pusaran arus sejarah” Pramoedya Ananta Toer. So........menulislah dan buatlah sejarahmu......
0 Komentar