Saya termasuk orang yang sangat suka mendengarkan cerita, juga membaca cerita. Banyak yang sering menyebut saya hidup dipenuhi fiksi. Namun bagi saya cerita tak hanya sebatas fiksi. Banyak hal yang bisa mengubah sejarah justru dari sebuah fiksi, dari cerita.
Saat aset kekayaan leluhur kita dirampas oleh penjajah, yang mana para sastrawan telah menuliskan kedalam daun, lontar, dan media lainnya yang ada waktu itu tidak lantas menjadikan itu hilang dari masyarakat kita. Bahkan hingga kini masih ada beberapa yang tersimpan dan terus diturunkan dari generasi ke generasi. Ya, lewat tradisi bertutur yang dilakukan oleh nenek moyang kita peristiwa yang telah lampau yang dituliskan oleh para pujangga dahulu kepada generasi sekarang. Lewat cerita, lewat tembang, jalin menjalin dan sampai kepada kita. Cerita yang kadang dianggap fiksi ternyata juga banyak pula mengandung kebenaran.
Dibeberapa daerah di Nusantara punya cerita daerah tersendiri. Orang menyebutnya legenda untuk menyebut cerita terjadinya suatu peristiwa/tempat. Banyak orang yang menganggap bahwa itu hanyalah cerita yang telah ada benarnya. Namun pernahkah terpikir dalam benak kita, cerita yang pernah kita dengar, ternyata pernah pula didengar oleh orang tua kita, dan bisa jadi orang tua dari orang tua kita juga pernah mendengarnya. Yang perlu kita pikirkan adalah kenapa cerita yang belum jelas kebenarannya bisa bertahan sampai sekarang. Sebut saja Roro Jonggrang, Tangkuban Perahu, Si kancil mencuri timun dan cerita lainnya, baik legenda, fabel ataupun yang lainnya.
Khasanah budaya kita ternyata begitu kaya, dari pembahasan satu kekayaan saja sudah sangat luar biasa sekali, yaitu cerita. Bisa jadi cerita-cerita yang kita dengar dari kecil dan kemudian banyak yang meragukan kebenaran dari cerita tersebut, sejatinya menyimpan teka-teki yang justru menyimpan banyak hikmah. Namun anggapan umum bahwa tak selayaknya sebuah cerita fiksi kita jadikan sebagai pelajaran. Maka alangkah celakanya menurut saya apabila ada yang berfikiran seperti itu, menganggap cerita fiksi hanya sampah yang tak bisa memberikan hikmah juga pelajaran. Bukankah hikmah bisa datang dari mana saja, bahkan dari mulut anjing, apalagi hanya dari cerita, bukan tidak mungkin. Maka berperilaku adil harus sudah sejak dalam pikiran.
Wonosobo, 10 Januari 2019
0 Komentar