Dilema Dua Hati
#Hari_4 #30HariBercerita #Fiksi
"Memang susah ngomong sama kaum pembaharu"
"Yeee.... lebih susah lagi ngomongin kaum tradisional yang kolot"
Tiba-tiba dari belakang Gusti menegur kami, "woooyyyy.....ya elaaah ni bocah berdua malah asik pacaran disini, siap-siap sono, udah ditungguin anak-anak" Suara Gusti memecah hari kami. Akhirnya Saya dan Hanna harus pula masuk ke dalam camp, tempat dimana kisah kami tumbuh dan melenyapkan segala perbedaan yang ada diantara kami berdua, berusaha menyatukan komitmen demi sebuah kata. Cinta.
***
"Pak, saya khawatir Pak dengan hubungan Idham dan Nak Hanna", bisik Fatimah kepada suaminya Haris.
"Sudah berapa kali kita bicarakan ini bu, mereka sudah besar, mereka terpelajar, dan tentu mereka sudah tau mana yang terbaik buat mereka, kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan, ingat bu jangan sampai apa yang menimpa kita terulang kembali oleh mereka, kita lebih terpelajar daripada orang tua kita dulu" tegas Haris kepada istrinya.
"Tapi Pak, apa kata tetangga kita nanti, juga keluarga besar kita nanti kalau kita dapat mantu yang ketika berdoa tidak angkat tangan, ketika ada acara tahlilan menganggap itu perbuatan bid'ah, dan lagi kalau nanti acara perayaan hari besar beda tanggal dengan kita, dan...."
"Bu, sudah berapa kali Bapak bilang, tidak ada yang berhak mengurusi urusan aqidah seseorang, apa Ibu mau dipaksa meninggalkan keyakinan yang selama ini sudah Ibu lakukan?, apa Ibu mau hanya karena masalah beda keyakinan Ibu melihat anak kita Idham membenci kita, ingat Bu dia sudah memilih pilihan yang terbaik buat dia, dari kecil dia sudah menunjukkan tabiat yang beda, harusnya Ibu tau itu"
" Iya Pak Ibu paham....". Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Fatimah, ia tak mau lagi menambah perkara dengan rentetan kalimat yang bahkan sudah bisa ditebak arahnya akan kemana. Hatinya tidak bisa dibohongi, sebagai seorang Ibu ia tentu mendoakan yang terbaik untuk anaknya, namun sebagai seorang perempuan pikirannya jauh menerawang ketika masalah sosial yang nantinya akan dihadapi, entah itu oleh lingkungan sekitar juga keluarga besarnya. Dalam hati Ia menyesalkan kenapa anaknya harus jatuh cinta kepada gadis yang beda aqidah dengan keluarga besarnya, salahkah Ia dulu ketika meminta suaminya untuk memperbolehkan anak lelakinya menimba ilmu di perguruan tinggi, bukan di pesantren seperti yang sudah direncanakan oleu suaminya. Tiba-tiba rasa sesal yang amat dalam menyelimutinya, membuatnya mengutuk diri sendiri.
Hingga larut malam, Fatimah tak juga dapat memejamkan matanya. Ia melangkah keluar memandangi rembulan yang bersinar terang pada malam ini. Ia masih saja mengadu, dan iapun mengambil air wudhu untuk kemudian mengadukan segala bebannya kepada sang maha pemberi segala.
***
Tak pernah terlintas sedikitpun bahwa anak yang dulu ku anggap ingusan ku anggap cerewet, kini akan menghiasi hari-hariku. Bahkan kehadirannya membuat drama baru, bukan saja untukku, untuknya, namun untuk kedua keluarga kami. Seperti yang dulu dikatakan Ibu saat pertama kali ku kenalkan Hanna kepada keluarga, apakah aku sudah yakin dengan pilihanku, atau apakah ini hanya nafsu sesaat. Namun sejauh ini tak kudapati keraguan sedikitpun akan hati ini terkait kedekatan ku dengannya.
Di seberang jalan kulihat gadis itu muncul, melambaikan tangan ke arahku. Dengan jilbab hitam dan gamis yang selalu menjadi busana kesehariannya. Entah kenapa apakah karena dia selalu menjaga tampilannya yang membuat saya jatuh hati padanya akupun tak tahu.
"Kak, mau kemana kita? jadi ni kakak menemani saya ke toko buku?", tanyanya.
"Oke, ayo kita jalan....". balsku sekenanya.
Disepanjang jalan kami terlibat obrolan seputar kegiatan kampus juga mata pelajaran yang sedang dia tempuh, hingga akhirnya dalam perjalanan itu pula ia menanyakan hal yang sudah menjadi komitmen kita berdua.
"Kak, Ibu masih bertanya soal hubungan kita"
"Terus kamu jawab apa?", tanyaku.
"Sama seperti yang dulu kakak bilang kepada orang tua kakak, saat saya diajak pertama kali menemui orang tua kakak", jawabnya dengan nada datar.
"Bagus.....", jawabku sambil senyum.
Keheningan menjadi hal paling ku benci dalam hal ini, seolah waktu berhenti dan jalan ini menjadi panjang tak berujung. Sampailah kami pada tujuan, setidaknya itu bisa mengalihkan suasana hati kami yang sama-sama dilanda ketidak pastian. Saya merasakan apa yang dia rasakan, bahwa menjalin hubungan diantara jurang perbedaan tidaklah mudah, namun kami yakin Allah sang pemberi rahmat pasti sedang menguji kesungguhan kami, dan kami percaya tidak ada sesuatu yang tidak bisa diselesaikan, sekalipun jurang itu dalam, sekalipun jurang itu bernama NU dan Muhammadiyah.
***
Sebulan memendam keluh yang berkecamuk didalam jiwanya membuat Idham dan Hanna bertekad untuk menemui orang tua Hanna. Berbekal keyakinan yang kuat mereka pergi dari ibu kota, menyusuri sebagian punggung pulau Jawa. Dalam perjalanan yang memakan waktu, juga hati yang tak tentu, kuasa betul Tuhan mempermainkan hati hambanya yang tak berdaya ini pikir Idham.
Setelah berjam-jam lamanya akhirnya mereka sampai didepan rumah Hanna. Terjadi pergolakan batin diantara keduanya, bahkan Idham beberapa kali menyeka pelipisnya yang bercucuran keringat, padahal cuaca saat itu sedang tidak begitu terik. Juga Hanna yang kali ini enggan memasuki rumahnya, seolah rumah yang telah memberinya kenangan menjadi sebuah tempat yang penuh ancaman. Keduanya berpandangan sesaat sebelum tatapan keduanya mengisyaratkan bahwa mereka harus masuk kedalam rumah, menyelesaikan sesuatu yang memang harus diselesaikan.
BLOCK WRITER
Wonosobo, 4 Januari 2019
0 Komentar