Pertama kali saya mendaki gunung yaitu saat kelas dua Aliyah. Saya dan teman-teman waktu itu mendaki gunung Sindoro. Sebenarnya sebelum itu saya pernah mendaki juga ke gunung sikunir tapi saya enggan menyebut itu pendakian pertama saya, alasannya sederhana, terlalu rendah untuk didaki menurut ukuran saya.
Ada cerita menarik dibalik kisah pendakian pertama saya dan teman-teman. Waktu itu antara kelas IPA dan IPS sering sekali terjadi perselisihan kecil, dari antara anak IPA yang katanya cupu, anak IPS yang pemberani, anak cewek IPA cantik-cantik, dan masalah sepele yang kadang dengan sengaja dibuat besar. Dan bermula dari itulah kisah pendakian pertama kami.
Suatu ketika kelas IPS akan mengadakan pendakian ke gunung Sindoro, sebelum melakukan pendakian tersebut mereka heboh membicarakan itu di sekolah. Tentu kabar itu sampai juga kepada kami anak-anak IPA. Dan kami hanya bisa ber"ghibah" sinis terhadap rencana mereka. Banyak dari kami yang meragukan mereka apakah akan sampai ke puncak atau tidak, alias rencana mereka hanya sensasi.
Hingga tiba waktu pelaksanaan mereka berkumpul disalah satu titik, dan saya yang memang arah pulang searah dengan basecamp Sindoro memang melihat mereka dengan berbagai perlengkapan pendakian sewaan yang entah di mana mereka bisa mendapatkan itu. Saat saya melihat mereka dalam hati saya benar-benar mendoakan mereka tidak sampai, dalam hal bukan berarti saya mendoakan mereka agar tertimpa musibah.
Namun ternyata doa kami para anggota sains ternyata tidak dikabulkan Tuhan. Hari Senin setelah mereka melakukan pendakian pada hari Sabtu dan pulang hari Minggu dan Senin kemudian mereka berhasil membuat kami panas. Kabar bahwa mereka berhasil mendaki sampai ke puncak Sindoro tersebar luas ke penjuru kelas dua. Bahkan beberapa postingan mewarnai beranda Facebook saya waktu itu (meskipun kami saling berselisih di dunia nyata tapi anehnya kami berteman di dunia maya).
Kelas saya berada di pojok lingkungan madrasah, ketika saya hendak masuk ke kelas sudah pasti saya harus melewati lorong dimana barisan kelas IPS berada. Hari itu nampaknya semua mereka sudah bersekongkol untuk menyiarkan keberhasilan mereka ke segala penjuru, dan benar saja saat saya melewati lorong tersebut banyak kata-kata yang membuat saya kesal terlebih ucapan mereka yang mengatakan "katanya anak IPA masa ngga mencintai alam, ternyata kalah sama jiwa pecinta alam anak sosial". Mendengar kalimat itu saya langsung marah dan mengumpulkan seluruh kelas dua IPA. Hingga terjadilah rapat darurat yang saya pimpin.
Dalam rapat tersebut diputuskan Sabtu besok anak IPA harus mendaki Sindoro untuk membuktikan bahwa anak IPA bisa. Rapat darurat tersebut diputuskan siapa yang ikut dan siapa yang tidak ikut. Dalam rapat tersebut meskipun ada beberapa anak cewek yang tidak ikut namun semua memutuskan bahwa tidak boleh anak IPA ditindas oleh anak IPS dalam bentuk apapun.
Ketika hati keberangkatan tiba kami berkumpul di satu tempat. Banyak yang sudah siap dengan peralatan seadanya, atau meminjam kakaknya, atau menyewa, banyak juga yang seperti saya membawa perlengkapan seadanya, bahkan hanya membawa tas sekolah dan sepatu sekolah. Anak-anak yang tidak ikut membawa tambahan makanan buat kami, ada yang membawa roti, mie instan, bahkan opak mentah(ya ampuuuuuuunnnnn).
Kalau pendaki profesional melakukan pendakian dimalam hari dengan tujuan agar tidak terlalu melawan sinar matahari, kami justru melakukan sebaliknya. Kami berangkat pagi hari(Sabtu itu libur), dan kami berangkat dari titik pendakian pada pukul 10.00 WIB dan kami sampai di puncak pada pukul 16.00 WIB. Namun selama pendakian kami juga banyak ketar ketir, pertama, jelas kami tidak tahu jalan alhasil kami hanya mengandalkan insting, kedua, karena itu siang hari dan matahari dalam keadaan sangat terik itu membuat pasokan persediaan air mineral cepat habis dan itu menjadi masalah kami nantinya di puncak.
Selama perjalanan banyak sekali yang mengeluh, entah itu capek (ya iyalah), ataupun kakinya lecet dan lainnya. Namun sekali lagi bahwa ini adalah pembuktian kepada anak IPS dan juga IPA maka semangat itu yang membuat kami pantang menyerah. Dan ternyata memang bisa kami akhirnya sampai di puncak Sindoro, dan itulah kemenangan bagi kami, dan pengalaman pertama bagi saya mendaki sebuah gunung tanpa tahu medan, hanya dengan modal nekad.
Di puncak Sindoro yang sangat luas dan lapang kami menikmati bentangan alam yang indah, bahkan tak sedikit dari kami yang menitikkan air mata. Karena haru juga karena mengagumi keindahan alam yang ada dihadapan mata. Saya terutama bersyukur bisa menyaksikan langsung anugerah Tuhan yang diberikan dan dikaruniakan dibumi Indonesia ini. Terlebih waktu itu masih pukul 16.00 WIB, cuaca diatas masih sangat cerah, dan kami bisa melihat pemandangan yang sangat luar biasa, apalagi senja yang tidak bisa kami abadikan dalam camera (tahun 2009 hape masih Nokia, paling bagus N95 tapi kebanyakan dari kami hanya punya Nokia 5300).
Ketika malam tiba ternyata cuaca diatas sangat dingin, dan setelah tenda terpasang kami mengalami banyak masalah, dari korek api yang ada hanya satu bungkus, ternyata tidak ada yang membawa korek api gas. Dan lagi air mineral kami kekurangan untuk memasak. Akhirnya air hanya kami jadikan minum, dan mie instan hanya kami remas dan masukan bumbunya kemudian kami makan, yang justru itu semakin membuat kami haus dan lapar.
Melihat hal tersebut akhirnya mau tak mau kami harus mencari air, ternyata seorang teman terjatuh dan celananya basah. Disitu ternyata terdapat lumut yang sangat tebal dan menyimpan air, akhirnya hal darurat itu kami tempuh, mumpung malam hari lumut-lumut itu kami peras dan kami jadikan minum. Saya tidak tahu seandainya itu kami lakukan siang hari mungkin itu tidak kami lakukan karena pasti akan terlihat sekali air itu sangat keruh.
Malam yang nahas itu kami lalui, para cewek tidur didalam tenda sedangkan kami tidur di luar dengan menahan dingin yang sangat luar biasa. Saat pagi muncul kami disuguhkan pemandangan yang sangat luar biasa. Bentangan awan yang membentuk lautan dan juga sinar fajar pagi hari dari ketinggian membuat kami mengucapkan kalimat tasbih berkali kali, saya sendiri benar-benar merasakan kedamaian saat melihat pemandangan tersebut. Sayang dulu kami hanya punya kamera hape dan sampai kini hanya beberapa foto yang bisa terselamatkan.
Pukul 8 kami berangkat turun untuk pulang, dan ternyata perjalanan pulang sangat singkat hanya memakan waktu tiga jam, tapi dengan sangat lelah karena perjalanan turun kami harus menopang berat tubuh kami, ditambah medan yang cukup sulit daripada saat kami naik. Itu menjadi pengalaman berharga kami pengalaman pertama menaklukkan sebuah gunung dan membela kehormatan kami sebagai anak IPA dimata anak-anak IPS.
Pengalaman dalam sebuah perjalanan saya kira memang sangat berharga, karena dari sebuah perjalanan kita bisa mengambil hikmah dan apa hikmah yang saya dapatkan dari pengalaman saya dan teman-teman mendaki gunung. Salah satunya adalah bahwa perjalanan yang dilakukan tanpa persiapan akan membuahkan ketakterdugaan. Dari situ saya belajar banyak bahwa mempersiapkan sebuah perjalanan akan berimbas pada hasil yang kita dapatkan dari sebuah perjalanan tersebut.
Wonosobo, 15 Januari 2019
0 Komentar